Pengusahaan hutan alam atau hutan tanaman masih sering menghadapi berbagai permasalahan yang berkepanjangan, namun Fakultas Kehutanan sebagai civitas akademisi masih optimis terhadap kejayaan industri kehutanan Indonesia. Demikian sambutan yang disampaikan oleh Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (FKT UGM), Dr. Budiadi, S.Hut., M.Agr.Sc. dalam diskusi pengusahaan pengelolaan hutan antara Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan civitas akademisi Fakultas Kehutanan di Ruang Multimedia FKT UGM, pada hari Kamis (22/08). “Apresiasi sebesar-besarnya terhadap APHI yang mau mengadakan diskusi kali ini, karena diskusi kali ini dapat meningkatkan hubungan dan pertukaran informasi yang lebih baik antara praktisi dan akademisi,” tambah Budiadi.
Acara kali ini dihadiri oleh sembilan orang pengurus APHI dan 17 dosen FKT UGM. Pengurus APHI yang hadir mewakili dari setiap bidang fokus pengembangan APHI, seperti Tjipta Purwita (Ketua Bidang Organisasi dan Keuangan), David (Ketua Bidang Produksi Hutan Alam), Soewarso (Ketua Bidang Produksi Hutan Tanaman), dan Endro Siswoko (Ketua Bidang Pengembang Usaha). Selain itu, hadir pula Wakil Ketua Umum APHI, Rahardjo Benyamin. Dari Fakultas Kehutanan, dosen-dosen yang hadir adalah dosen yang ahli untuk menjawab permasalahan yang disampaikan oleh APHI, seperti Dr. Budiadi, S.Hut., M.Agr.Sc., Dr. Muhammad Ali Imron, S.Hut., M.Sc., Dr. Rohman, S.Hut., M.P., Dr. Ir. Sofyan P. Warsito, M.S., Prof. Dr. Ir. Mohammad Na’iem, M.Agr.Sc., Prof. Dr. Ir. Wahyu Andayani, M.S., Dr. Ir. Lies Rahayu Wijayanti Faida, M.P., Tomy Listyanto, S.Hut., M.Env.Sc., Ph.D., dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Wakil Ketua Umum APHI mengatakan bahwa industri kehutanan Indonesia kalah dengan Vietnam, yang memilikihargapasar yang lebih baik dari pada di Indonesia. APHI ingin bekerja sama dengan FKT UGM untuk membangun industri kehutanan Indonesia agar lebih baik. “Industri kehutanan yang dikelola dengan baik dapat membantu defisit negara, dan lama-kelamaan membuat industri kehutanan kembali ke masa kejayaan,” kata Rahardjo.
Pada pemaparan yang disampaikan oleh Ketua Bidang Organisasi dan Keuangan APHI, Indonesia memerlukan kebijakan dari pemerintah untuk mengatasi distorsi harga kayu bulat melalui ekspor kayu bulat terbatas dan selektif dari hutan alam dan hutan tanaman, ekspor kayu gergajian, serta ekspor perluasan penampang kayu olahan. “Dalam penguatan industri kehutanan banyak hal yang harus diperbaiki, mulai dari revitalisasi industri pengolahan kayu, penguatan sektor hulu dan hilir kehutanan, hingga dukungan kebijakan dan upaya peningkatan produktivitas hutan alam dan percepatan pembangunan HTI,” ujar Tjipta.
Hal yang perlu diperhatikan adalah pengembangan multi usaha dalam industri kehutanan. Multi usaha merupakan penerapan beberapa usaha pada areal izin pemanfaatan pada hutan produksi sebagai upaya untuk mengoptimalkan produktivitas hutan produksi melalui pemanfaatan kayu, pemanfaatan HHBK, dan pemanfaatan jasa lingkungan. “Dalam pengembangan multi usaha harus ada strategi yang didasarkan pada karakteristik masyarakat generasi saat ini, yaitu generasi milenial yang haus akan inovasi dan kreativitas,” ujar Siswoko.
Salah satu tanggapan pada diskusi kali ini disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Wahyu Andayani, M.S., beliau menyampaikan semua kegiatan yang dilakukan APHI akan berujung pada sektor ekonomi, jika sektor ekonomi tidak mendukung, maka usaha tidak akan berjalan dengan baik. Selain itu, permasalahan yang diungkapkan APHI sudah diidentifikasi sejak tahun 2010, akan tetapi ada masalah yang meningkat, yaitu masalah sosial. “APHI harus bisa melakukan kiat-kiat agar bisa tetap bertahan dalam industri kehutanan, seperti APHI harus bisa meningkatkan efisiensi, inovasi, dan daya saing,” kata Wahyu.
Saat ini, APHI masih terlihat sebagai perusahaan konvensional, dan memiliki penurunan jumlah anggota. Hal itu dapat menjadi permasalahan tersendiri bagi APHI. APHI harus berkolaborasi dengan pihak-pihak penyelesai masalah, terutama dari lembaga sosial karena permasalahan sosial meningkat, terutama untuk menerapkan undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang desa. “APHI harus mempertimbangkan tekanan dari dunia internasional, yang mana era HPH atau HTI harus sudah mulai dikurangi karena dunia internasional menginginkan hutan alam yang zero deforestation,” tambah Teguh Yuwono.Diakhirkegiatandiskusi, APHI dan FakultasKehutanan UGM sepakat untuk melanjutkandiskusilebihlanjut.
Kegiatan diskusi ditutup oleh Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat dan Kerjasama, Dr. Muhammad Ali Imron. Tantangan besar untuk berinovasi di bidang kehutanan tentu saja akan menjadi berat jika tidak didukung oleh kebijakan, namun FKT UGM dapat membantu untuk menyelaraskan antara inovasi yang dibuat dengan kebijakan. “Saat ini, FKT UGM mempunyai beberapa pusat kajian yang dapat digunakan seperti pusat kajian SILIN, Pusat Kajian Industri Kehutanan, Pusat Kajian Sebijak, dan Pusat Kajian Serat Alam. Dengan skema yang baik, tentu saja FKT UGM sebagai akademisi dapat membantu menyelesaikan masalah melalui penelitian agar menghasilkan produk yang lebih inovatif,” tambah Imron.